Es krim Mixue dalam beberapa bulan belakangan ini sedang naik daun di Indonesia. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang tua tertarik mencicipi rasa yang ditawarkan. Mixue sudah merambah ke banyak gerai di seluruh negeri dan terus bertambah popularitasnya. Bahkan sampai tak sedikit orang yang berseloroh, “Jika ada tempat kosong, maka akan segera diambil alih oleh gerai Mixue.” Tidak heran jika antrian pembeli semakin panjang setiap harinya. Namun, apa yang sebenarnya terjadi di balik kesuksesan Mixue? Apakah itu hanya tren sementara atau ada sesuatu yang membuatnya berbeda dengan es krim lainnya? Mari kita telusuri bersama-sama.
Sejarah Berdirinya Mixue
Kisah Mixue berawal dari Zhang Hongchao, seorang mahasiswa sekaligus pekerja paruh waktu di sebuah gerai es serut di Provinsi Henan, China. Setelah bekerja selama beberapa waktu dan menyelesaikan studinya, pada 1997 Hongchao memulai bisnis gerai es serutnya sendiri dengan modal sekitar 4.000 Yuan atau setara Rp8 juta yang diperoleh dari neneknya. Lantaran modal yang dimilikinya itu terbilang sangat terbatas, Hongchao harus merakit mesin produksi sendiri untuk membuat es serut jualannya. Produk yang dijualnya juga terbatas pada es serut, es krim, smoothie, dan teh susu mutiara. Beberapa saat kemudian, dia juga mulai menawarkan es krim di tokonya.
Dari bisnis pertamanya itu Hongchao mampu menghasilkan sekitar 100 Yuan atau Rp200.000 rupiah per hari. Namun sayangnya gerai es serut Hongchao harus ditutup karena bisnisnya tidak berkembang akibat pengaruh cuaca dan musim. Hongchao tidak patah semangat, pada tahun 1999, dia membuka kembali gerai es serutnya dengan nama baru, yaitu Mixue Bingcheng atau MXBC. Kali ini dia berhasil menghadapi berbagai tantangan yang muncul dan pada tahun 2006, produknya semakin diterima pasar dan tidak lagi tergantung pada musim tertentu agar laku.
Kemudian pada tahun 2008, Olimpiade Beijing diadakan. Saat itu es krim buatan Jepang yang bentuknya seperti obor menjadi populer hingga membuat harga es krim di China melambung tinggi. Sebelum booming-nya es krim obor, harga es krim hanya sekitar 1 atau 2 yuan, kemudian naik 5 atau 10 kali lipat. Dari sinilah Hongchao menemukan peluang bisnis. Dia mencoba membuat formula es krim serupa yang harganya lebih terjangkau lalu akhirnya berhasil. Dia berhasil menciptakan es krim obor versi Mixue dengan harga hanya 2 yuan atau setara 4.000 rupiah. Padahal di gerai lain harga es krim serupa bisa mencapai 10 yuan atau 20.000 rupiah.
Cerita Kesuksesan Mixue
Perbedaan harga yang signifikan membuat produk es krim Mixue mampu bersaing dan menjadi favorit masyarakat, sehingga membuat bisnisnya berkembang pesat. Tahun 2007 atau setahun sebelum Olimpiade Beijing, Hongchao memang telah membuka puluhan franchise (waralaba) untuk gerai Mixue di Henan, yang pada tahun berikutnya jumlahnya meningkat menjadi 180 unit. Di tahun 2008, Mixue Bingcheng menjadi perusahaan resmi dan berkembang menjadi merk bubble tea terlaris di China. Pendapatan Mixue Bingcheng pada tahun pertama mencapai 6,5 miliar yuan atau setara dengan Rp13 triliun.
Hingga awal tahun 2021, pendapatan Mixue Bingcheng terus meningkat dan mencapai 20 miliar yuan atau 40 triliun rupiah. Prestasi ini melampaui merk bubble tea premium lainnya karena Hongchao telah melakukan ekspansi besar-besaran ke berbagai negara, termasuk Vietnam, Singapura, Malaysia, hingga negara kita tercinta, Indonesia. Sekadar diketahui, Indonesia merupakan pasar minuman boba terbesar di Asia Tenggara, dengan nilai pasarnya diperkirakan mencapai 1,6 miliar USD atau setara dengan Rp24 triliun. Angka tersebut setara dengan 43,7% dari total nilai pasar boba di seluruh negara di Asia Tenggara.
Menurut laporan Momentum Works, Mixue saat ini memiliki 21.582 gerai waralaba yang tersebar di berbagai negara, menjadikannya perusahaan dengan gerai terbanyak kelima di dunia, mengalahkan jumlah gerai Burger King dan Domino Pizza. Seorang tech enthusiasts Jason Alexander sempat membagikan riset pribadinya tentang Mixue di Linkedin berdasarkan data Google Maps per 27 Desember 2022 menggunakan Tableau. Berdasarkan risetnya, tercatat ada 692 cabang gerai Mixue sudah tersebar di seluruh Indonesia. Jawa Barat mendominasi jumlah gerai Mixiu sebanyak 189, Jawa Timur 114 unit dan 113 gerai di Jawa tengah.
Alasan Harga Mixue Murah
Apa rahasia kesuksesan mereka? Salah satu strategi utama yang mereka terapkan adalah menawarkan harga yang terjangkau untuk produk es krim dan minumannya. Dengan harga sekitar Rp8.000 saja, pelanggan di Indonesia dapat menikmati porsi es krim cone ukuran besar. Harga termahal yang ditawarkan adalah Rp16.000. Sedangkan harga minuman milk tea dijual mulai dari Rp10.000 hingga Rp22.000, tergantung dari variasi dan jenis topping yang diinginkan pelanggan. Apakah ada pesaing Mixue yang menawarkan harga yang lebih murah? Produk minuman dan es krim pesaing Mixue biasanya dijual dengan harga rata-rata lebih dari Rp20.000.
Baca juga:
Harga yang ditawarkan oleh Mixue sangat terjangkau, karena perusahaan ini menargetkan pasar kelas menengah ke bawah. Menurut survei Jakpat pada tahun 2021, sekitar 46% konsumen minuman kekinian berasal dari kalangan atas, sedangkan masyarakat kelas menengah dan bawah masing-masing hanya 38% dan 33%. Mixue membidik pasar yang jarang dilirik, yaitu masyarakat kelas bawah. Kunci Mixue untuk mematok harga yang sangat murah terletak pada inovasi supply chain. Pada tahun 2012, Mixue Bingcheng membangun pabrik secara terpusat untuk menguasai supply chain dan mencapai swasembada.
Lalu pada tahun 2014, mereka mendirikan pusat logistik di kota Zhaozhou, Provinsi Henan, sehingga semua materi dapat dikirim secara gratis ke seluruh cabang. Mixue menjadi merk minuman pertama di China yang pengiriman logistiknya gratis. Dengan memiliki pusat pergudangan dan logistik sendiri, Mixue dapat menekan biaya inventory dan biaya penyimpanan. Selain itu, Mixue memiliki area produksi teh, jalur pengadaan bahan baku, dan pabrik produksi bahan bakunya sendiri. Maka bisa dipahami mengapa biaya bahan baku Mixue bisa lebih rendah 20% daripada kompetitornya.
Mixue di Indonesia
PT Zisheng Pacific Trading adalah pemegang hak franchise untuk merek Mixue Ice Cream and Tea di Indonesia. Mixue menawarkan sistem waralaba yang berbentuk usaha mandiri, sehingga tidak ada royalti maupun bagi hasil yang harus disetorkan. Meski begitu, tetap ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh calon mitra, seperti menyediakan tempat operasional meliputi ruas bangunan minimal 25m persegi, lebar 3,8m, tinggi plafon 2,7m, sumber air bersih, sanitasi yang baik, dan daya listrik 33.000W. Mixue juga menyediakan kontraktor untuk mendesain interior jaringan franchise-nya agar sesuai standar yang telah mereka tetapnya.
Berdasarkan surat yang diterbitkan PT Zhisheng Pacific Trading pada 31 Maret 2022, biaya franchise Mixue Ice Cream and Tea sebesar 370.000 Yuan atau sekitar Rp808 juta. Jumlah itu sudah termasuk keseluruhan investasi dari awal pembangunan gerai. Mixue pun memberikan potongan harga serta buku resep, menu, pelengkapan, pembuatan produk, seragam karyawan, sampai dengan pendampingan dari manajemen. Selain itu, Mixue Bingcheng memberikan dana pinjaman tanpa bunga kepada pewaralaba untuk menyelesaikan masalah keuangan ketika mereka membuka gerai barunya. Pinjaman yang ditawarkan jumlahnya sampai puluhan juta setiap tahun.
Di Indonesia sendiri, salah satu strategi pemasaran paling mencolok yang digunakan oleh Mixue adalah Fear of Missing Out atau FOMO. Dengan strategi ini, Mixue mengandalkan para pengguna media sosial, terutama influencer, untuk membeli dan merekomendasikan produk es krim Mixue di laman media sosial mereka. Masyarakat dibuat khawatir dan takut bila sampai kehilangan momen serta tidak menjadi bagian dari tren yang sedang terjadi, seperti menikmati es krim Mixue. Tak pelak, Mixue menjadi populer dan banyak orang membeli dan makan Mixue bukan karena kebutuhan, melainkan karena ingin mendapatkan social approval atau ikut-ikutan.
Selain itu, Mixue sukses besar juga karena mengandalkan volume penjualan dalam jumlah besar untuk menjaga efisiensi supply chain. Dengan banyak gerai yang terkonsentrasi di lokasi tidak berjauhan, Mixue dapat mengendalikan pemrosesan bahan mentah, pergudangan, dan logistik dengan mudah dan memotong biaya perantara atau pihak ketiga. Strategi ini juga memungkinkan Mixue mempertahankan daya tawar tinggi terhadap berbagai vendor atau pemasok dan mendapatkan bahan baku dengan harga yang lebih murah. Ongkos sewa gerai juga menjadi lebih murah karena banyak orang bersaing untuk menjadi mitra Mixue.
Mixue Hanya Tren Sesaat?
Dengan masifnya pembukaan gerai Mixue di sejumlah daerah, ada potensi akan mengalami stagnasi. Hal ini disebabkan karena es krim adalah jenis makanan yang memiliki sifat occasional dan dipengaruhi oleh tren yang sedang berlangsung di beberapa daerah. Namun, fenomena seperti itu tidak berlaku untuk beberapa merek ternama seperti KFC dan McDonalds yang telah sukses membangun ekspansinya di berbagai negara, termasuk Indonesia. KFC dan McDonalds bisa bertahan karena menu ayam yang disajikan telah menjadi makanan sehari-hari di Indonesia, berbeda dengan es krim yang orang hanya memakannya beberapa kali dalam sebulan.
Menurut analisis dari Ziwen Chen dalam risetnya yang berjudul Marketing Strategy of MXBC MilkTea, waralaba Mixue adalah pedang bermata dua. Mixue telah berhasil mempertahankan bisnisnya, namun terlalu banyak gerai dapat merusak masa depan perusahaan. Mengelola ratusan ribu pemegang franchise di berbagai negara bukanlah tugas mudah. Dengan semakin banyaknya gerai, para mitra waralaba akan mengalami penurunan laba bersih. Persaingan yang ketat di industri es krim dan teh membuat Mixue semakin kesulitan memperoleh keuntungan atau bahkan bertahan.
Ziwen melanjutkan, strategi pemasaran Mixue selama ini memang luar biasa dan sukses. Namun begitu, tidak ada jaminan bahwa pertumbuhannya akan terus berjalan seperti sekarang di masa depan. Banyaknya gerai franchise juga dapat membuat pasar menjadi jenuh. Persaingan tidak hanya terjadi dengan kompetitor, tetapi juga dengan gerai Mixue lainnya. Penjualan Mixue pada suatu saat mungkin akan menurun karena keberadaannya semakin mencolok di area publik. Hal itu dapat membuat pelanggan merasa jenuh karena mudah mencari dan mendapatkan produknya.
Pada akhirnya, waktu yang akan mengungkapkan nasib Mixue. Akankah ia terus berkembang atau justru terpuruk di tengah jalan? Meski inovasi Mixue dalam supply chain dan model bisnisnya telah membawanya menuju keberhasilan yang luar biasa, kita tahu bahwa setiap produk pasti akan mengalami naik turun seperti kurva S. Ketika Mixue mencapai puncak kurva, apakah ia mampu menciptakan kurva S yang baru? Seperti yang pernah mereka lakukan di Olimpiade Beijing 2008. Jawaban dari pertanyaan tersebut akan menentukan masa depan Mixue.